Kenangan adalah usia kedua dari seorang manusia...

Sabtu, 15 Maret 2014

Rama & Shinta Tak Berakhir Bahagia

“Buat apa cinta jika kau tidak percaya padaku, buat apa sayang jika kau terus berprasangka yang bukan-bukan.”
Siapa yang tidak mengenal Rama, pangeran gagah dari kerajaan Kosala. Dia tampan tak terkira, dia pintar tiada dua, dan jangan tanya soal kepribadiannya, Rama adalah pemuda tiada tandingan. Semua orang akan terpesona hanya dengan menatap wajahnya.
Lantas siapa yang tidak mengenal Shinta gadis rupawan, puteri kerajaan Wideha? Dia cantik tak terperi, dia pintar tiada tanding, dan jangan tanya soal budi pekertinya, Shinta adalah gadis yang tumbuh dalam asuhan luhur. Semua orang bahkan terpesona hanya dengan mendengar bisik-bisik bagaimana jelita rupanya.
Mereka berdua seperti ditakdirkan menjadi pasangan abadi, Rama-Shinta, dan sudah abadilah cerita mereka.
Pemuda gagah itu, Rama, sedang dalam misi berbahaya, menumpas para raksasa di hutan rimba saat terbetik kabar, Raja Wideha mengadakan sayembara. Gadisnya yang rupawan sudah cukup usia, bagai bunga mekar, sudah saatnya menikah dengan salah-satu pangeran terbaik di seluruh India. Maka demi kabar besar itu, berduyun-duyunlah semua kerajaan mengirimkan pangeran mereka.
“Kau harus ikut serta, Kakanda.” Laksmana, adik Rama yang setia menemani mereka berpetualang menumpas raksasa membujuk.
“Astaga, kau ingin kakakmu ini mendapatkan jodoh melalui sebuah sayembara? Itu jelas bukan awal kisah cinta sejati, tidak akan ada Resi yang pernah menulisnya.” Rama menggeleng.
“Setidaknya Kakanda bersedia melihat dulu puteri itu, menurut kabar, wangi kulitnya semerbak hingga ratusan meter. Matanya mampu meruntuhkan dinding kesombongan. Dan hatinya, bahkan bisa menaklukkan senjata paling hebat di dunia.” Laksmana mengedipkan mata, tidak habis akal membujuk, “Setelah dilihat, nanti baru Kakanda putuskan sendiri apakah akan menulis kisah cinta sejati dari sebuah sayembara atau bukan?”
Rama menatap adiknya, tidak percaya, bagaimana mungkin di tengah mengejar-ngejar raksasa pengganggu penduduk, mereka membicarakan soal sayembara bodoh itu.
“Ayolah, apa salahnya dicoba, bukan?” Laksmana tertawa.
Baiklah, seperti apa omong kosong kecantikan gadis itu, Rama mendengus, memasang busur dan anak panah di punggung, lupakan sebentar misi petualangan mereka, berputar haluan, berangkat menuju ibukota Wideha.
Jika kau hendak bertanya apakah cinta pada pandangan pertama itu, maka kau bisa bertanya pada pasangan Rama dan Shinta.
Ketika seluruh pangeran sudah berkumpul di balai agung ibukota Wideha, Rama yang tiba terlambat justeru salah memasuki ruangan. Sebuah kesalahan yang memantik nyala perasaan berpijar-pijar. Bagaimana mungkin? Dia sungguh tidak terpesona oleh betapa cantiknya Shinta, kabar itu bukan dusta, tapi dia terpesona saat melihat gadis itu sedang membantu dayang-dayang yang tidak sengaja menumpahkan nampan berisi buah-buahan.
“Tidak usah dipikirkan. Tidak usah dicemaskan.” Merdu suara gadis itu menenangkan dayang-dayang, membungkuk membantu mengambil buah yang berserakan, sama sekali tidak keberatan membuat kainnya berdebu.
“Maafkan kami, Puteri.” Dayang-dayang semakin serba salah, bagaimana mungkin Shinta yang hari ini akan mengadakan sayembara mencari suami, justeru berhenti sejenak membantu mereka.
Rama yang tertegun menatap gadis yang riang membantu dayang-dayangnya, mencengkeram lengan Laksmana di sampingnya tanpa sengaja.
“Siapakah gadis itu?” Rama berbisik.
Shinta lebih dulu menoleh. Dayang-dayang berseru pelan, kaget ada laki-laki memasuki bangunan khusus perempuan.
“Maaf, sungguh maafkan kami.” Rama mengangkat tangannya, bergegas menyadari kekeliruan, “Kami sedikitpun tidak bermaksud buruk, kami tidak sengaja, kami salah masuk ruangan.”
Shinta menatap sejenak wajah pemuda di hadapannya, memeriksa wajah serba salah, serba tanggung, dan ketahuan baru saja begitu terpesona melihat dirinya. Ah, pemuda ini pastilah pengembara, Shinta tersenyum manis. Pemuda gagah ini pastilah salah-satu petualang yang telah mengelilingi dunia. Seperti banyak pengunjung lainnya, ikut hadir meramaikan ibukota menonton sayembara besar.
Ah, andaikata dia bukan puteri seorang Raja, yang harus memperoleh jodoh melalui sebuah sayembara, akan menyenangkan bisa berpetualang melihat dunia luas.
Itulah pertemuan pertama mereka. Percakapan pendek yang kaku, patah-patah, malu-malu tapi mengesankan. Shinta tidak menduga kalau pemuda dengan pakaian ksatria biasa tapi dengan tutur kata menawan bagai seorang pangeran memang seorang pangeran terhormat. Sungguh sebuah kejutan menarik saat dia tahu pemuda itu mengikuti sayembara.
Sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah, karena semua peserta tidak diminta berlomba memanah, mengejar atau membunuh rakasasa, mereka juga tidak diminta saling mengalahkan, tidak ada pertandingan fisik. Mereka hanya diminta menarik busur, pusaka kerajaan Wideha. Nah itulah rumitnya. Busur itu sungguh bukan busur biasa, itu busur milik Dewa Siwa yang dihadiahkan ke bumi, jangankan menarik talinya, bahkan mengangkat busur itu saja tidak banyak yang mampu.
Tentu saja Rama yang memenangkan sayembara itu.
Tapi jangan lupakan pertanyaan pentingnya, jika seluruh pangeran tidak mampu menarik tali busur itu, kenapa Rama yang mampu? Kita tidak tahu kekuatan apa yang sesungguhnya membuat pemuda itu mampu menarik tali busur itu. 
Rama adalah ksatria hebat. dia dikenal mampu menaklukkan banyak raksasa di jaman itu, tapi itu tetaplah busur hadiah Dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India. Satu anak panahnya terhujam ke bumi, maka konon dunia akan merekah bagai sebutir jeruk yang terbelah. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kekuatan cinta. 
Lihatlah, di sebelah kursi singgasana, Shinta tersipu malu, ikut bersorak senang saat melihat Rama berhasil menarik tali busur. Mereka berjodoh, sayembara telah berakhir, pernikahan antara Rama dan Shinta segera dilangsungkan.
Lepas pernikahan, pasangan muda itu kembali ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala, bukan main, senang alang kepalang Raja Kosala melihat anaknya telah memperistri seorang bidadari. Raja Kosala yang uzur, bahkan hendak mengangkat Rama menjadi raja, apalagi yang kurang? Masa depan kerajaan akan gemilang di tangan putra sulungnya tersebut.
Tetapi ada yang tidak senang dengan rencana tersebut. Ibu tiri Rama, istri muda Raja Kosala, merasa anaknya, Barata, lebih berhak menjadi raja. Nasib malang menimpa pasangan muda tersebut, melalui sebuah intrik yang licik, Rama dan Shinta justeru terusir dari Ayodya, ibukota Kosala, dibuang ke hutan rimba selama empat belas tahun. Barata, adik tirinya menjadi raja, dan Raja Kosala yang menyesali situasi meninggal dalam kesedihan panjang.
Apa yang dilakukan Shinta atas semua penderitaan itu? Dia tidak pergi, dia justeru menabahkan hati, meneguhkan cinta, berangkat menemani Rama terbuang dari segala kehormatannya. Bagi Shinta, semua urusan sederhana, kemanapun Rama pergi, dia akan terus mengabdi. itulah bukti cintanya yang tiada tara. Maka terusirlah Rama dan Shinta, dengan ditemani Laksmana yang sejak kecil selalu menemani kakaknya.
Empat belas tahun bukan waktu yang sebentar, tinggal di dalam hutan juga bukan masalah yang mudah bagi pasangan itu. Mereka diuji oleh berbagai godaan, diuji oleh berbagai rintangan. Tidak terhitung begitu banyak raksasa hutan yang selama ini diburu Rama hendak membalaskan sakit hati. Dan puncaknya saat Rahwana, Raja Alengka, berniat menculik Shinta yang jelita.
Kau tahu siapa Rahwana? Dia adalah raja para raksasa. Kesaktiannya tiada tara. Tidak ada penduduk bumi yang bisa mengalahkan Rahwana. Bahkan rasa raksasa itu pernah meneror kerajaan langit, membuat para Dewa harus bersatu memaksanya mundur kembali ke bumi. Tidak ada yang bisa menghentikan kesewang-wenangan Rahwana.
Hari naas itu, Shinta melihat seekor anak kijang, begitu lucu, lincah loncat kesana kemari. Aduh, menggemaskan sekali. Shinta meminta Rama mengejar anak kijang itu. Rama yang enggan, akhirnya mengalah, memutuskan mengejar kijang itu, meninggalkan Shinta pada Laksmana, adiknya. Tentu saja kijang itu bukan kijang biasa, melainkan raksasa, anak buah Rahwana yang sedang menyamar. Setelah dikejar kesana-kemari, masuk ke dalam hutan yang lebih lebat, Rama berhasil memanahnya, dan kijang itu berubah wujud, berseru meminta tolong, menirukan suara Rama.
Demi mendengar teriakan itu, Shinta panik. Dia cemas suaminya terluka, meminta Laksmana menyusul. Situasi berubah menjadi rumit. Laksmana yang ragu-ragu, khawatir itu semua jebakan dari musuh mereka, memutuskan membuat lingkaran di tanah yang melindungi Shinta sepanjang berada di dalamnya. 
Laksmana bergegas menyusul Rama, meninggalkan Shinta yang berlindung dalam lingkaran. Tetapi Rahwana tidak kalah akal, dia menyamar menjadi seorang pertapa tua, berjalan terbungkuk, pura-pura kehausan. Rahwana tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, tapi dia bisa membujuk Shinta yang amat perasa terhadap kesedihan dan penderitaan orang lain melangkah keluar mengulurkan kendi air minum.
Sekejap. Saat tangan Shinta keluar dari lingkaran, Rahwana berubah wujud, menyambar tangan Shinta, membawanya terbang pergi ke kerajaan Alengka yang berada di seberang lautan daratan India. Rahwana tertawa jumawa, wajah buruk rupanya terbahak puas, rencana besarnya berhasil, lihatlah, dia berhasil menculik Shinta.
Rama dan Laksmana yang kembali dari mengejar kijang amat pilu saat tahu istrinya telah diculik Rahwana. Perhiasan istrinya terjatuh di lingkaran perlindungan, dan seekor burung garuda, Jatayu, yang kebetulan melihat penculikan tersebut, dan berusaha menggagalkan, memberitahu mereka, tubuh Jatayu terluka parah, Rahwana jelas-jelas bukan tandingannya.
Maka dimulailah cerita mahsyur itu.
Petualangan Rama menyelamatkan kekasih hatinya, istri tercinta. Rama tahu persis, tidak mudah merebut kembali Shinta dari Rahwana. kerajaan raksasa itu ribuan kilometer di seberang lautan. Dan menyerbu tanpa persiapan ke sarang raksasa, sama saja bunuh diri namanya.
Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan perang. Juga ribuan ksatria dari kerajaan-kerajaan lain yang terketuk hatinya melawan Rahwana.
Tapi masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan? Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang? Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah apa nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam pertempuran. 
Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya. 
Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta.
Dengan jembatan yang kokoh, pasukan manusia kera bagai gelombang air bah menyerbu kerajaan Alengka, dan pertempuran besar tidak dapat dihindarkan lagi. Ribuan prajurit raksasa bertahan, membela setiap jengkal istana. Duel dahsyat antara Rama dan Rahwana menjadi legenda. Dua-duanya sama digdaya, bertempur di langit-langit kerajaan Alengka. Dentum merah, kuning, biru, membuat terang langit malam. Kelbatan cahaya jingga, kuning, hijau memedihkan mata. Panah sakti milik Rama akhirnya menghujam dada Rahwana, dan raja raksasa paling sakti itu tumbang ke bumi. Rahwana, raja raksasa yang pernah membuat rusuh kerajaan langit, akhirnya dikalahkan.
Shinta berhasil direbut kembali.
***
Sayangnya, cerita baru saja dimulai. Kisah abadi Rama dan Shinta. Bukan, sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu kembali ke Ayodya.
Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah cinta.
****
“Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.
“Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?” Laksmana berseru putus asa, “Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”
“Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”
“Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.”
Ruangan singgasana hening sejenak
Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama.
Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri? Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan?
Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.
“Omong kosong, Kakanda.” Laksmana berseru, “Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba? Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara? Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka?”
Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.
“Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama menatap kosong ke depan, resah.
“Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.
Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana.
Apakah Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?
Keputusan besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.
“Apakah Kakanda masih mencintai Shinta?” Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.
“Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”
Laksmana tertunduk, “Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”
Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.
“Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”
Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama.
---
Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.
Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.
Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.
“Dusta takkan bercampur dengan jujurHina takkan bercampur dengan muliaOh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
 Kebaikan takkan bercampur dengan keburukanKesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatanOh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina
Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci
Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang.
Tetapi cerita jauh dari selesai.
***
Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu. Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan kering, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. 
Orang-orang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, begitu bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
“Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua? Siapa?”
Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, “Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya.”
Rama menggeleng.
“Paduka Rama tidak percaya padaku?”
“Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.
Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja dia dari Ayodya.
“Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan? Itu, itu berlebihan.”
Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.
Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya pelan.
“Tentu saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.”
Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya? Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suami tercinta.
“Jangan cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan terbetik perasaan itu.”
Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya. Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.
“Dusta takkan bercampur dengan jujurHina takkan bercampur dengan muliaOh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
 Kebaikan takkan bercampur dengan keburukanKesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatanOh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.
Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.
Kemana dia harus pergi sekarang?
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan telah menghadangnya di depan.
Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam.
Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri.
Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpa semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.
Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.
Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. 
Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu.
Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa.
Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya, ribuan kilometer jauhnya.
Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. 
Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.
Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.
Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.
Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan?
Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.
Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”
Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.
“Tidak akan ada jemputan malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. 
Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. 
Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya sejak mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.
Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih bersisa banyak, tapi pengharapan yang tak kunjung berujung menghabisi banyak hal.
Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan rumitlah urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.
Dua anak kembar itu tahu.
Dua anak kembar itu tahu. Aduh, rumitlah urusan. Kau tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari pusaka busur Dewa Brahma milik si kembar: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang direstui Dewa untuk dibalaskan.
Apalagi yang tidak mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?
Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari itu juga, bagai puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu muda oleh dua anak berusia dua belas tahun.
Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang telah mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?
Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.
Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. 
Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.
Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.
Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anak-anak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya?
Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:
 “Dusta takkan bercampur dengan jujurHina takkan bercampur dengan muliaOh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
 Kebaikan takkan bercampur dengan keburukanKesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatanOh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka.
Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.
Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi.
Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota.
“Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu-?
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.
“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.
Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.
“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya.
“Lepaskan kami Ibu!”
“Dia Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”
“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.”
“Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.
Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau malah memeluknya?”
Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, dia juga sama, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba.
“Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.
Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?
“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah.
Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?
Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.
Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.
Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?
Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali. Berlinang air mata. Lantas melepas pelukan. Berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru, “Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil keadilan.
Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah bukti paling maksimal.
Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.
“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.
Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.
Shinta tersungkur. Tangannya mencabik-cabik tanah. Debu mengepul beterbangan. Mulutnya lirih nian membaca mantera. Rama sudah amat dekat, sudah tak kuasa lari lagi.
“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”
“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”
Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.
“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.
“Dengarkan aku, Shinta.” Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
Hening. Hening.
***
Hari itu, siang itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, “Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu.”
Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bbusur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar kesedihan, penyesalannya dengan binasanya seluruh dunia.
Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.
Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat.
Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.
Itulah kisah legendaris Rama dan Shinta.