Jalannya pelan tertatih. Dengan tongkat kayu yang membantu menopang tubuhnya, sosok renta itu beberapa kali berusaha menghindari jajaran nisan yang kadang berserakan tak beraturan. Sesekali langkahnya terhuyung karena kakinya tersandung bebatuan yang mungkin sudah tak begitu nampak lagi dalam pandanganannya.
Lelaki dengan wajah penuh gurat usia itu berjalan paling depan. Membiarkan putra dan ketiga cucunya juga turut menyesuaikan dengan langkah perlahan. Wajah tak sabaran cucu lelakinya yang sudah sangat berhasrat menyalip langkah renta itu sontak surut saat akhirnya sang kakek berhenti di hadapan sebuah nisan keramik berwarna orange tua.
Kakek itu memandang sayu kearah nisan yang ditumbuhi rerumputan kecil yang telah menguning kering di hadapannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan hingga harus menunggu sejenak sebelum akhirnya tangannya mulai bergerak mencabuti rerumputan yang memang sudah nampak sekarat itu. Melihat apa yang dilakukan sang kakek, putranya yang telah berusia setengah abad dan ketiga cucunya pun tak berlama-lama tinggal diam. Dengan cekatan mereka ikut memunguti julur-julur akar rapuh yang telah terpisah dari tubuhnya.
Selesai membersihkan nisan itu sang kakek – entah apa lagi yang ada di pikirannya – kembali terdiam dengan tatapan sayu. Namun, kali ini pandangannya tertuju pada tanah kosong di sebelah makam yang baru saja dibersihkannya. Sepetak tanah itu nampak tak terurus. Juntaian rerumputan liar menutup hampir seluruh permukaannya.
Sang kakek pun sontak berkata pada putranya dengan nada pelan namun jelas tergambar nada menyuruh. Dalam bahasa Jawa, “Mbok kon ngresiki Sarkun. Dikiro nganggur iki ngko. (Mbo ya suruh Sarkun buat bersihin ini. Nanti dikira tanah tidak terpakai)”. Sarkun adalah nama seorang lelaki tua yang tinggal tak jauh dari rumah sang kakek. Ia adalah sahabat sang kakek yang selalu siap sedia membantu terutama dalam hal olah-mengolah sawah.
Tanah yang baru saja menjadi topik pembicaraan mereka itu adalah sepetak tanah yang sengaja dipilih oleh kakek tersebut sebagai “calon” tempat peristirahatan terakhirnya kelak. Tepat di samping makam bernisan orange yang sekarang dielusnya, makam sang istri yang telah mendahuluinya 9 tahun yang lalu.
Mereka mulai duduk khusyuk merapalkan doa. Hening. Sayup-sayup terdengar teriakan penebang tebu membelah hamparan sawah di kejauhan. Masih hening. Tinggallah si bungsu yang duduk berjongkok sambil menatap bingung pada mereka yang masih terpejam matanya.
Tak lama kemudian cucu tertua yang telah selesai memanjatkan doa pun mulai membuka matanya. Sejenak bola matanya berkeliling mengamati yang lain masih terpejam. Hingga akhirnya sapuan pandangannya terhenti pada sosok renta itu.
Masih dengan mata terpejam laki-laki itu mengelus makam sang istri sembari tetap mengucap doa-doa. Mata itu…….. terpejam memang, tetapi nampak jelas bayangan bening menggelayut di ujung-ujung bulu matanya.
Sontak imajinasi liar menyeruak cepat di otak sang cucu.
Pertanyaan-pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa tiba-tiba membanjir keluar begitu saja dari dalam pikirannya. Rasa penasaran dan keingin tahuan ala pikiran kritis remaja mendorongnya untuk terus merapalkan lirih kata-kata bak mantra yang sebenarnya selalu diawali dengan kata “bagaimana jika….”
Bagaimana jika suatu saat nanti aku telah berada dalam posisi itu? Jika aku telah menjalani hampir seluruh masa hidupku. Bahkan orang yang kucintaipun telah pergi meninggalkanku, mendahuluiku dan tak kan pernah lagi kembali.
Bagaimana jika usiaku sudah teramat renta? bahkan mungkin bisa dibilang tinggal menghitung hari-hari terakhirku di dunia. Walaupun aku tak tahu kapan, namun kematian itu sudah terasa begitu dekat mengintaiku.
Bagaimana jika aku sudah tiba di masa itu? Kira-kira apa perasaanku saat menatap langit ini? Masihkah sama seperti sekarang dimana ketika aku memandangnya maka yang kurasakan adalah hamparan biru cerah yang begitu tinggi untuk kugantungkan cita-citaku? Ataukah aku akan menatapnya hambar? Menatapnya seolah dia sedang melambai dan memanggilku untuk segera menyusulnya?
Bagaimana jika tubuhku telah menua? Kira-kira apa perasaanku saat menatap tanah dimana kakiku tertatih melangkah dengan kekuatan yang tak lagi ada? Apakah masih sama dengan apa yang kurasakan sekarang dimana aku akan menapakkan kakiku penuh semangat mengejar semua impian dan harapanku? Ataukah aku akan berjalan pelan dengan pikiran melayang membayangkan tanah itu sebentar lagi akan menelan ragaku dan menguburku sendirian dalam kegelapan?
Bagaimana jika aku telah renta? apa perasaanku saat menatap dunia? Tak jarang saat inipun aku menyesali waktuku yang telah berlalu. Mengapa dulu aku tak begini, mengapa dulu aku tak begitu, seandainya dulu begini, seandainya dulu begitu. Tapi kemudian aku akan mencoba mengikhlaskan dan yakin bahwa aku akan berbuat lebih baik di masa depan. Tapi jika usia ini sudah hampir mencapai ujungnya….penyesalan itu akankah bisa semudah saat ini kuikhlaskan?
apakah aku akan merasa takut untuk memejamkan mata ? Tidakkah aku takut jika aku kemudian tak bisa lagi membukanya dan menatap dunia ini lagi? Takut dengan apa yang harus kuhadapi di akhirat nanti? Takut akan siksaan dan dosaku serta amalku yang begitu sedikit?
Lalu apakah aku akan sedih? Apakah aku merasa sedih karena harus berpisah dengan kehidupan yang sudah puluhan tahun mengisi lembaran-lembaran sejarah hidupku? Meninggalkan orang-orang tercinta yang selama ini menemaniku menjalani jalan panjang kehidupan dan bersamaku mengukir kenangan?
Ahh, entahlah…..
Bisa sampai di usia tua pun sudah sepantasnya disyukuri. Namun, membayangkan diriku menua, berjalan tertatih, penglihatan yang tak lagi jelas, omongan yang mulai melantur, mengelus makam orang yang kucintai sembari mengingat bahwa tak lama lagi aku tak kan bisa melihat dunia ini lagi.
Menatap dunia yang selama ini mengisi setiap penglihatanku. Menatapnya dan mengingat bahwa aku tak kan bisa melihatnya lagi. Tak kan bisa mendengar suara seperti ini lagi. Tak kan bisa berada di sini lagi, tak kan bisa lagi merasakan apa yang dinamakan HIDUP.
Untuk sampai di usia itu…. Semoga tidak ada penyesalan.
Matanya mengerjap. Menemukan kembali sosok sang kakek yang menjadi asal muasal pikiran liarnya barusan masih khusyuk membaca surat-surat Al Quran sembari mengelus makam sang istri dengan kelopak mata yang masih tampak samar basah oleh air mata.
Sang cucu sontak memalingkan wajahnyau. Melempar pandangan ke atas jauh entah kemana. Cara yang selama ini cukup manjur untuk membendung air mata. Berhasil, lelehan hangat itu batal jatuh. Ia kuat.
Namun, suara itu menyentaknya. Menubruk kejam bendungan yang susah payah ia bangun. Membuatnya tertunduk dalam diam mendengarkan dengan seksama dalam haru.
Suara bergetar sang kakek bebicara terbata, seolah berbincang dengan istrinya.
“Sutinah, aku mau bengi ngipi sandanganmu amoh. Aku yo ngerti biasane awakmu nek nyandang koyo opo. Nanging aku ngipi sandanganmu amoh. Mugo-mugo awakmu diparingi katenangan neng njero kubur.
Aku ngipi awakmu loro kabeh lan njaluk dipijeti neng mah kidul. Awakmu ngenteni neng mah mburi. Aku arep ngidek klasamu tapi akhire wegah mergo klasane teles. Aku ngongkon awakmu pindah nyang mah ngarep. Tak bukakne lawange nanging terus aku nglilir. Sepurane yo aku lagi iso ndelok awakmu yo saiki iki.
Neng kono awakmu sing madeb manteb yo, ojo menga mengo neng panggonanmu urip saiki. Semono ugo aku neng kene. Awakmu wis ndisiki nyang alam akherat, aku tak keri neng alam padhang. Ngopeni anak putumu kanti slamet seger waras.”
(Sutinah, tadi malam aku bermimpi pakaianmu sobek. Aku tau seperti apa biasanya kalau kamu berpakaian. Tapi kali ini aku bermimpi pakaianmu robek. Semoga kamu diberi ketenangan di dalam kubur.
Aku bermimpi badanmu sakit semua dan minta dipijat di rumah sebelah. Kamu menunggu di rumah belakang. Aku mau menginjak tikarmu tapi akhirnya aku tidak mau karena tikarnya basah. Aku menyuruhmu pindah ke rumah depan. Aku membukakan pintunya namun kemudian aku terbangun. Maaf, aku baru bisa menjengukmu ya sekarang ini.
Disana kamu berdirilah yang tegap, jangan nolah-noleh di tempatmu hidup sekarang. Begitu juga denganku disini. Kamu sudah mendahului ke alam akhirat, biarlah aku tinggal di alam terang. Memelihara anak cucumu dengan sehat dan selamat).
Aku tidak terisak. Susah payah aku menahannya. Mungkin aku menangis karena bahagia. Bahagia karena diberi kesempatan untuk menjadi salah satu kisah cinta yang mungkin pantas untuk disebut “abadi”. Dan mungkin sekaligus terisak karena takut. Takut akan waktu, takut akan penyesalan. Namun, pengecut namanya jika aku takut sebelum menjalaninya.
Semoga…. Tak ada penyesalan di hari tuaku nanti. Semoga tiap jengkal usiaku bisa menjadi usia yang bermanfaat bagi diriku, bagi orang lain, bagi duniaku dan tentu saja bagi akhiratku.
Dan yang pasti. Satu lagi doaku…. Semoga akupun bisa merasakan seperti apa itu cinta yang ‘abadi’. Yang bahkan tetap tak tergoyahkan ketika sang kekasih tak lagi menemani.
-Pemakaman Ngegong Ds. Tambakrejo. Juli. 2012 -
baca ini jam 2 malam tadi entah kenapa bikin merinding dan ada aura aura apa gitu... (S-T-N ??????)
BalasHapusbaca setelah pagi, baru dapat feel yang beda hehehe