Ketukan itu memanggilku. Menyeret tubuhku yang sedari tadi
tergeletak malas di atas kasur yang masih berantakan sejak pagi. Kubuka pintu kamarku
dengan malas demi mengintip tamu yang setengah ku tunggu setengah tidak. Aku berjalan mendekatinya…
“Akhirnya kau datang,” gumamku sendiri.
Jika saat ini dia bicara, mungkin dia akan menghardik karena
pernyataan bodohku itu. “Hei, aku sudah disini sejak tadi!! Kemana saja kau?!?” begitu mungkin kurang lebih.
Tak menjawab, akupun berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Kuintip
wajahku sejenak di cermin. Sudah boleh keluar kamar nampaknya…
Aku kembali berjalan keluar, kearah jendela, menemui tamuku. Tapi kali ini aku sambil menyeret kursi lipatku, mendekat pada tamu yang sejak tadi mengetuk-ngetuk atap kosan kami. Kupandang julangan-julangan
tinggi rumah dan gedung yang telah basah olehnya. Tak lupa kutenteng di tangan
kiriku novel yang sudah hampir separuh kubaca. Serta boneka beruang ungu
kesayangan di tangan kananku. Aku butuh dia, setidaknya sesuatu yang berbahan
dasar kain. Dan tak ketinggalan, handphone ku, yang sudah lebih dari puluhan
kali kutengok sejak matahari terbit subuh tadi.
Kutata kursiku senyaman mungkin agar aku bisa bersandar
membaca novel sambil memeluk bonekaku. Setelahnya kucari spot terbaik untuk
meletakkan handphone agar mudah kuraih jika sewaktu-waktu ia berdering. Tapi
aku tak menemukannya. Akhirnya kuletakkan saja di lantai.
“Tak akan banyak berdering kok,” gumamku.
Tanganku masih belum beranjak untuk membuka novel yang sudah
hampir sampai di pertengahan. Mataku masih terpaku menatap langit di kejauhan. Tamuku, sang hujan, masih terus mengetuk-ngetuk. Membentuk tirai bening yang membuat pemandangan di
hadapanku sedikit memburam. Udara terasa dingin. Membekukan mata dan badanku
untuk diam tak bergerak.
“Maaf, baru bisa menyapamu, aku terlalu takut menampakkan
wajahku.”
Bisikan lirih yang kutujukan pada hujan. Tampak bodoh
memang. Tapi tak apa. Toh, aku sudah merasa gila sejak semalam.
Tentu saja tak ada
jawaban darinya. Membuatku kembali terpaku, membalas kediamannya.
“Ahhh…” Helaan nafas mengiringi tanganku yang buru-buru tersadar dan
tergegas menarik pembatas buku dari tempatnya. Aku harus mulai membaca sebelum
rasa hangat di mataku semakin menjadi.
Kulanjutkan aktivitas membacaku hingga berpuluh-puluh
halaman. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah kalimat yang tak pelak membuatku
tertawa agak keras. Nama sebuah SMA di Jakarta. Haha. Aku tertawa hanya karena
teringat pada seseorang yang pernah sekolah disana.
Mungkin tawaku terdengar hingga beberapa meter. Sampai
sahabatku, Rahma, keluar melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar.
“Hei, kamu menertawakan apa?”
Aku hanya tersenyum malu sambil menunjuk novel di tanganku.
Dia tersenyum, kemudian kembali menenggelamkan wajahnya ke dalam kamar. Baiklah,
kupikir dia menganggapku aneh, dan mengabaikanku. Sampai akhirnya kulihat dia kembali muncul dari dalam kamarnya. Kali ini
sambil menenteng sebuah buku, novel kurasa. Dia berjalan ke arahku.
“Boleh gabung?”
“Yap. Tapi duduk di lantai ngga papa kan? Kan udah biasa,”
selorohku seperti biasa. Jarang sekali memang aku berbicara serius dengannya.
Tak lama, kamipun tenggelam dalam bacaan masing-masing. Ada
orang lain di dekatku berarti aku harus benar-benar serius membaca. Tak boleh
lagi sebentar-sebentar menengok ke arah langit di kejauhan dan melamun tak
jelas seperti sebelumnya.
Menit demi menit berlalu. Hanya suara hujan dan deru
kendaraan yang lewat sesekali menelusup cuping telinga kami. Sampai tiba-tiba
sahabatku itu menyentak keheningan yang memeluk.
“Eh, baca deh… kalimatnya bagus,” katanya sambil menyodorkan
novel yang sedang ia baca padaku, dengan telunjuk mengarah pada satu paragraf
di sisi kanan buku. Kusodorkan leherku demi melongok ke arah yang ia maksud.
“Yang namanya cewek itu, mereka ahli menyembunyikan perasaan.
Tak ada jalan lain, kau harus bertanya pada dia. Itu pun kau harus siap untuk
mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan keinginanmu.” Aku membaca beberapa
baris percakapan salah satu tokoh di novel itu. Setelahnya aku tertawa ringan.
“Haha, iya juga ya…” kataku. Dan kamipun tertawa bersama sebelum menyurut menjadi senyum
dan kemudian memudar seiring konsentrasi yang sudah kembali pada deretan
tulisan tanpa gambar.
Kuharap Rahma tak sadar bahwa kali ini suara aku membalik
halaman buku berjeda agak lama. Aku tampak membaca, tapi mataku terpaku pada
tanda titik. Lamunanku kembali datang. Terbayang kembali kalimat yang tadi kubaca sebelum tamu
istimewaku mengetuk. Ah, ia kembali menghangat, mataku. Mungkin itu bentuk
protesnya, karena hari ini aku memaksanya membaca setelah hampir tiga jam
memanas semalam. Dan kuharap Rahma tak tahu tentang itu. Celakalah aku jika ia sampai tahu bahwa senyum dan tawaku semalam itu palsu.
Aku menggelengkan kepalaku samar. Memejamkan mata sembari
menghela nafas dalam. Mencoba memfokuskan kembali otakku pada alur cerita yang
mulai mencapai klimaks. Menit kembali merangkak. Hingga tiba-tiba…
“Eh, baca lagi deh,” kata Rahma lagi. Dengan gerakan yang
sama seperti sebelumnya ia menyodorkan novelnya padaku. Kali ini paragraf yang
ia tunjuk berada di sisi kiri.
“Hati perempuan itu dalam dan sensitif, bisa menghanyutkan
dan menenggelamkan. Tapi juga tangguh, bisa menguatkan, menumbuhkan, dan
menjelmakan mimpi-mimpi kita. Hati perempuan bisa memaafkan, tapi tidak bisa
melupakan apa yang pernah singgah di pedalaman hatinya.” Kali ini aku
merapalkannya sedikit lirih.
“Bener banget kan?” Sahut Rahma semangat. Tak lupa dengan
tawa puas karena telah menemukan lagi quote of the day.
Aku terdiam. Tapi beruntung aku masih ingat untuk
menyungginggkan sebuah senyum. Demi tak mengecewakan sahabatku itu. Tak ada tawa. Bisa tersenyumpun sudah syukur
buatku. Kalimat itu terasa... Ahh... lupakan...
Kami kembali menekuri novel masing-masing. Tapi kali ini
sungguh tak ada satu katapun yang menyambung ceritaku yang sempat terpotong
tadi. Bola mataku tak bergerak. Terpaku pada spasi kosong tak berhuruf.
Aku tak tahan lagi.
“Aku masuk dulu ya, ngantuk…” Kataku tiba-tiba sambil beranjak dari kursiku.
“Aku juga ah…” sambung Rahma tanpa berniat mencegahku. Mungkin dia juga merasa kedinginan karena angin yang cukup kencang bertiup dari arah jendela.
Kami pun membereskan 'lapak' kami. Rahma bisa berjalan lebih
dahulu ke kamarnya sementara aku masih harus menyeret-nyeret kursi dan membereskan
novel, boneka, serta handphone agar bisa sekali angkut tanpa perlu bolak-balik.
Suara hujan meredup seiring pintu kamar yang menutup. Suara gerombolan anak kunci terdengar berantuk satu sama lain saat aku memutarnya demi menjaga pintuku tertutup rapat. Aku tak ingin siapapun masuk kali ini.
Aku segera beringsut ke depan laptopku. Kuputar
keras-keras lagu apapun yang ada di playlist paling atas demi meredam suara
dari dalam kamarku agar tak sampai keluar. Kututup jendela music playerku, menyisakan layar putih berlambang burung sederhana dengan beberapa baris tulisan berwarna hitam. Halaman salah satu jejaring
sosial yang paling banyak dipakai penduduk dunia saat ini.
Di antara tulisan itu terselip sebaris postingan. Sederet kalimat yang kutahu pasti ditujukan pada siapa. Kalimat yang
menjadi alasan kenapa hari ini aku merasa bahwa hari esok terasa baru akan datang
10 tahun lagi, membuat waktu berdetak begitu lama. Hanya deretan kalimat pendek....
Aku terduduk di lantai begitu saja. bersandar pada dipan yang dingin menyentuh kulit berbalut kaos abu-abu lengan pendek yang kukenakan. Aku memeluk beruang unguku, menenggelamkan wajahku dalam-dalam pada perutnya yang gembul. Akhirnya dia berfungsi, seperti tujuan awal, menemaniku jika sewaktu-waktu mataku tak bisa membendung lagi riak gelombang kiriman yang berpadu dari otak dan hatiku.
Hai hujan, berteriaklah lebih kencang. tenggelamkanlah suara tangisanku...
Hanya deretan kalimat pendek.... Sebuah analogi. Tentang menjaga dan dijaga…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus