Image: www.iran-daily.com |
Baru sampai... Masih di dalam mobil yang menjemputku dari stasiun.
Bapak: (sambil nyetir) "Kemaren mbah kakung minta bapak nelfon kamu. Katanya suruh nanyain kamu udah ketemu jodohnya apa belum. Orang tua kok ngga nanya-nanya katanya. Maksa pengen ditelfonin saat itu juga. Tapi, bapak bilang kalau kamu mau pulang, biar mbah nanya sendiri."
Aku: (dengerin sambil nganga)
Keesokan harinya, konfirmasi ke ibu. Jawabannya, lebih drama lagi.
Ibu: "Iya, bapak sama Ibu dimarah-marahin. Katanya orang tua kok ngga ngerti banget. Bocah mana berani ngomong dulu kalau ngga ditanyain."
Aku: (speechless dengerin)
Ibu: "Makanya awas aja nanti kamu kalau ditanyain harus siap."
Aku: "Tapi, mbah ngga nanya apa-apa tuh. Mungkin dia lupa."
Ibu : "Ora mungkin. Dia tu kalau udah punya keinginan pasti inget terus."
Aku: (pucat)
Keesokan harinya, setelah Maghrib. Beneran. Bapak, Ibu, dan aku di'sidang'. Dan pertama kalinya aku mendengar mbah mengungkapkan perasaannya tentang 'jodoh' thing ini.
Intinya....
Aku ini sudah pantas untuk menikah. Kalau bergaul yang hati-hati. Milih pendamping jangan asal bagus (ganteng). Mbah juga menjabarkan segala hal tentang pedoman kuno terkait anak perempuan pertama dalam keluarga yang jodohnya ngga boleh begini, ngga boleh begitu, bla bla bla.
"Mumpung mbah masih hidup, pengen lihat cucu perempuannya nikah. Tapi, kalau memang nanti mbah meninggal terlebih dahulu sebelum bisa menyaksikan, ya mbah cuma bisa pamit. Minta doanya biar mbah selamat di alam sana. Nanti kalau memang sudah ketemu jodohnya, Kom sama Lis (Bapak & Ibu) ya cepet siap-siap."
Bapak yang menjawab semua-muanya. Aku hanya mendengarkan dengan sesekali 'nggih'. Tidak tahu mau berkata apa.
I'm not ready yet.... Actually.... Apparently...
Aaah~~
BalasHapusIni cerita dibalik "Why so serious?"
:D