6 Januari 2017 pagi
Aku masih mengingat suasana pagi di Hari Jumat, dimana aku sangat bersemangat menyambut hari terakhir kerja jelang weekend. Sudah mandi wangi dan siap berganti baju kerja. Tiba-tiba Bapak menelepon dan mengabarkan bahwa ibu masuk rumah sakit.
Aku masih mengingat betapa panik dan buru-burunya aku meraih baju sekenanya, memesan taksi online ke Bandara Soetta padahal belum beli tiket pesawat sambil mengepak barang seadanya.
Aku masih mengingat bagaimana aku memohon pada bapak driver yang sudah jalan hampir satu kilometer menuju soetta untuk ganti tujuan ke Bandara Halim karena ternyata pesawat paling pagi ada disana.
Aku masih mengingat penantian di bandara yang terasa begitu lama sambil mulut tak henti berdoa agar ibu baik-baik saja tapi pikiran yang juga terus dihantui ketakutan jika ibu kenapa kenapa.
Aku masih ingat buru-burunya aku mengeluarkan uang taksi tak peduli harganya entah kemahalan atau tidak. Yang penting aku bisa segera meluncur dari Bandara Solo ke rumah sakit ibu di Madiun.
Aku masih ingat diriku yang memanggul tas punggung hitam kebingungan mencari ruangan ibu sampai kemudian bertemu tetangga-tetangga yang datang hendak menjenguk, kemudian kami bersama-sama menemukan ruangan ibu.
Aku masih ingat penampakan ibu yang sudah tak sadarkan diri dengan berbagai alat pemantau kondisi tubuh saat pertama kali aku melihatnya di ruang perawatan.
Aku masih ingat bagaimana aku menyeka badan ibu dan memakaikan pakaian rumah sakit.
Aku masih ingat bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibu, bagaimana sepupuku yang perawat menanyakan 'masihkah ada harapan?' dan kemudian mendapat jawaban: 'sulit'
Aku masih ingat bagaimana aku sendirian duduk di samping ibu seorang diri (pasien hanya boleh didampingi satu orang) sambil mengucapkan segala macam doa dan harapan.
Aku masih ingat bagaimana aku hampir tiap menit mengamati gerak naik turun dada ibu, memastikan bahwa masih ada nafas disana.
Aku masih ingat bagaimana tiba-tiba monitor di samping ibu berbunyi dan dengan paniknya aku memanggil dokter dan bertanya terbata 'ibu kenapa?'
Aku masih ingat bagaimana dokter melakukan tindakan penyelamatan, dan aku berteriak memanggil tante di luar ruangan.
6 Januari 2017 Ba'da Ashar
Aku masih ingat...
Aku masih ingat sampai akhirnya ibu dinyatakan meninggal di depan mataku, badan ibu ditutup kain, aku menangis sambil memeluk adikku yang baru kelas 3 SD, mengabarkan ke calon suami (yang 10 bulan lagi harusnya bisa ibu saksikan menikah denganku) kalau ibu meninggal.
Aku masih ingat bagaimana sesampai di rumah aku disambut dengan wajah-wajah sedih, tak percaya, dan turut berduka dari para tetangga yang sudah mulai menyiapkan pemakaman ibu.
Aku masih ingat bagaimana saat adikku yang berkuliah di luar kota datang dan memelukku dalam tangis.
Aku masih ingat bagaimana orang-orang melarangku meneteskan air mata saat melihat ibu dimandikan, padahal kala itu rasanya sudah bukan ingin menetes lagi tapi mengalir.
Aku masih ingat langkah terakhirku mengantarkan ibu ke pemakanan.
Aku masih ingat...
Aku masih ingat hari-hari setelahnya dimana aku jatuh sakit, hari-hari berikutnya dimana pikiran ini penuh dengan pertanyaan 'nanti gimana?' dan hari-hari yang harus kami lewati susah payah karena begitu besar perubahan yang terjadi di rumah sepeninggal ibu.
Aku masih ingat...
Aku masih ingat semuanya.
Namun aku tak ingin mengingatnya.
Tiap kali ingatan itu muncul sekelebat, akan kugelengkan kepalaku dan menyibukkan diri dengan hal lain.
Bukan aku tak ingat.
Aku hanya tak ingin mengingat.
Karena gambarannya masih terasa sangat jelas.
Sejelas sakit hati yang masih terasa sampai hari ini.
Sejelas air mata yang masih meleleh saat aku menuliskan hal ini.
*peluk Ika*
BalasHapus