Kenangan adalah usia kedua dari seorang manusia...

Sabtu, 18 Januari 2014

241211048891

          Ketukan itu memanggilku. Menyeret tubuhku yang sedari tadi tergeletak malas di atas kasur yang masih berantakan sejak pagi. Kubuka pintu kamarku dengan malas demi mengintip tamu yang setengah ku tunggu setengah tidak. Aku berjalan mendekatinya…

          “Akhirnya kau datang,” gumamku sendiri.

          Jika saat ini dia bicara, mungkin dia akan menghardik karena pernyataan bodohku itu. “Hei, aku sudah disini sejak tadi!! Kemana saja kau?!?” begitu mungkin kurang lebih.

          Tak menjawab, akupun berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Kuintip wajahku sejenak di cermin. Sudah boleh keluar kamar nampaknya…

           Aku kembali berjalan keluar, kearah jendela, menemui tamuku. Tapi kali ini aku sambil menyeret kursi lipatku, mendekat pada tamu yang sejak tadi mengetuk-ngetuk atap kosan kami. Kupandang julangan-julangan tinggi rumah dan gedung yang telah basah olehnya. Tak lupa kutenteng di tangan kiriku novel yang sudah hampir separuh kubaca. Serta boneka beruang ungu kesayangan di tangan kananku. Aku butuh dia, setidaknya sesuatu yang berbahan dasar kain. Dan tak ketinggalan, handphone ku, yang sudah lebih dari puluhan kali kutengok sejak matahari terbit subuh tadi.

         Kutata kursiku senyaman mungkin agar aku bisa bersandar membaca novel sambil memeluk bonekaku. Setelahnya kucari spot terbaik untuk meletakkan handphone agar mudah kuraih jika sewaktu-waktu ia berdering. Tapi aku tak menemukannya. Akhirnya kuletakkan saja di lantai.

           “Tak akan banyak berdering kok,” gumamku.

         Tanganku masih belum beranjak untuk membuka novel yang sudah hampir sampai di pertengahan. Mataku masih terpaku menatap langit di kejauhan. Tamuku, sang hujan, masih terus mengetuk-ngetuk. Membentuk tirai bening yang membuat pemandangan di hadapanku sedikit memburam. Udara terasa dingin. Membekukan mata dan badanku untuk diam tak bergerak.

          “Maaf, baru bisa menyapamu, aku terlalu takut menampakkan wajahku.”

          Bisikan lirih yang kutujukan pada hujan. Tampak bodoh memang. Tapi tak apa. Toh, aku sudah merasa gila sejak semalam. 

           Tentu saja tak ada jawaban darinya. Membuatku kembali terpaku, membalas kediamannya.

          “Ahhh…” Helaan nafas mengiringi tanganku yang buru-buru tersadar dan tergegas menarik pembatas buku dari tempatnya. Aku harus mulai membaca sebelum rasa hangat di mataku semakin menjadi.

          Kulanjutkan aktivitas membacaku hingga berpuluh-puluh halaman. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah kalimat yang tak pelak membuatku tertawa agak keras. Nama sebuah SMA di Jakarta. Haha. Aku tertawa hanya karena teringat pada seseorang yang pernah sekolah disana.

          Mungkin tawaku terdengar hingga beberapa meter. Sampai sahabatku, Rahma, keluar melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar.

          “Hei, kamu menertawakan apa?”

        Aku hanya tersenyum malu sambil menunjuk novel di tanganku. Dia tersenyum, kemudian kembali menenggelamkan wajahnya ke dalam kamar. Baiklah, kupikir dia menganggapku aneh, dan mengabaikanku. Sampai akhirnya kulihat  dia kembali muncul dari dalam kamarnya. Kali ini sambil menenteng sebuah buku, novel kurasa. Dia berjalan ke arahku.

          “Boleh gabung?”

         “Yap. Tapi duduk di lantai ngga papa kan? Kan udah biasa,” selorohku seperti biasa. Jarang sekali memang aku berbicara serius dengannya.

          Tak lama, kamipun tenggelam dalam bacaan masing-masing. Ada orang lain di dekatku berarti aku harus benar-benar serius membaca. Tak boleh lagi sebentar-sebentar menengok ke arah langit di kejauhan dan melamun tak jelas seperti sebelumnya.

          Menit demi menit berlalu. Hanya suara hujan dan deru kendaraan yang lewat sesekali menelusup cuping telinga kami. Sampai tiba-tiba sahabatku itu menyentak keheningan yang memeluk.

           “Eh, baca deh… kalimatnya bagus,” katanya sambil menyodorkan novel yang sedang ia baca padaku, dengan telunjuk mengarah pada satu paragraf di sisi kanan buku. Kusodorkan leherku demi melongok ke arah yang ia maksud.

          “Yang namanya cewek itu, mereka ahli menyembunyikan perasaan. Tak ada jalan lain, kau harus bertanya pada dia. Itu pun kau harus siap untuk mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan keinginanmu.” Aku membaca beberapa baris percakapan salah satu tokoh di novel itu. Setelahnya aku tertawa ringan.

            “Haha, iya juga ya…” kataku. Dan kamipun tertawa bersama sebelum menyurut menjadi senyum dan kemudian memudar seiring konsentrasi yang sudah kembali pada deretan tulisan tanpa gambar.

            Kuharap Rahma tak sadar bahwa kali ini suara aku membalik halaman buku berjeda agak lama. Aku tampak membaca, tapi mataku terpaku pada tanda titik. Lamunanku kembali datang. Terbayang kembali kalimat yang tadi kubaca sebelum tamu istimewaku mengetuk. Ah, ia kembali menghangat, mataku. Mungkin itu bentuk protesnya, karena hari ini aku memaksanya membaca setelah hampir tiga jam memanas semalam. Dan kuharap Rahma tak tahu tentang itu. Celakalah aku jika ia sampai tahu bahwa senyum dan tawaku semalam itu palsu. 

          Aku menggelengkan kepalaku samar. Memejamkan mata sembari menghela nafas dalam. Mencoba memfokuskan kembali otakku pada alur cerita yang mulai mencapai klimaks. Menit kembali merangkak. Hingga tiba-tiba…

          “Eh, baca lagi deh,” kata Rahma lagi. Dengan gerakan yang sama seperti sebelumnya ia menyodorkan novelnya padaku. Kali ini paragraf yang ia tunjuk berada di sisi kiri.

          “Hati perempuan itu dalam dan sensitif, bisa menghanyutkan dan menenggelamkan. Tapi juga tangguh, bisa menguatkan, menumbuhkan, dan menjelmakan mimpi-mimpi kita. Hati perempuan bisa memaafkan, tapi tidak bisa melupakan apa yang pernah singgah di pedalaman hatinya.” Kali ini aku merapalkannya sedikit lirih.

          “Bener banget kan?” Sahut Rahma semangat. Tak lupa dengan tawa puas karena telah menemukan lagi quote of the day

           Aku terdiam. Tapi beruntung aku masih ingat untuk menyungginggkan sebuah senyum. Demi tak mengecewakan sahabatku itu. Tak ada tawa. Bisa tersenyumpun sudah syukur buatku. Kalimat itu terasa... Ahh... lupakan...

          Kami kembali menekuri novel masing-masing. Tapi kali ini sungguh tak ada satu katapun yang menyambung ceritaku yang sempat terpotong tadi. Bola mataku tak bergerak. Terpaku pada spasi kosong tak berhuruf.

           Aku tak tahan lagi.

           “Aku masuk dulu ya, ngantuk…” Kataku tiba-tiba sambil beranjak dari kursiku.

           “Aku juga ah…” sambung Rahma tanpa berniat mencegahku. Mungkin dia juga merasa kedinginan karena angin yang cukup kencang bertiup dari arah jendela.

          Kami pun membereskan 'lapak' kami. Rahma bisa berjalan lebih dahulu ke kamarnya sementara aku masih harus menyeret-nyeret kursi dan membereskan novel, boneka, serta handphone agar bisa sekali angkut tanpa perlu bolak-balik.

          Suara hujan meredup seiring pintu kamar yang menutup. Suara gerombolan anak kunci terdengar berantuk satu sama lain saat aku memutarnya demi menjaga pintuku tertutup rapat. Aku tak ingin siapapun masuk kali ini.

           Aku segera beringsut ke depan laptopku. Kuputar keras-keras lagu apapun yang ada di playlist paling atas demi meredam suara dari dalam kamarku agar tak sampai keluar. Kututup jendela music playerku, menyisakan layar putih berlambang burung sederhana dengan beberapa baris tulisan berwarna hitam. Halaman salah satu jejaring sosial yang paling banyak dipakai penduduk dunia saat ini.

          Di antara tulisan itu terselip sebaris postingan. Sederet kalimat yang kutahu pasti ditujukan pada siapa. Kalimat yang menjadi alasan kenapa hari ini aku merasa bahwa hari esok terasa baru akan datang 10 tahun lagi, membuat waktu berdetak begitu lama. Hanya deretan kalimat pendek.... 

          Aku terduduk di lantai begitu saja. bersandar pada dipan yang dingin menyentuh kulit berbalut kaos abu-abu lengan pendek yang kukenakan. Aku memeluk beruang unguku, menenggelamkan wajahku dalam-dalam pada perutnya yang gembul. Akhirnya dia berfungsi, seperti tujuan awal, menemaniku jika sewaktu-waktu mataku tak bisa membendung lagi riak gelombang kiriman yang berpadu dari otak dan hatiku. 

          Hai hujan, berteriaklah lebih kencang. tenggelamkanlah suara tangisanku...


         Hanya deretan kalimat pendek.... Sebuah analogi. Tentang menjaga dan dijaga…