Kenangan adalah usia kedua dari seorang manusia...

Rabu, 31 Juli 2019

Selamat Jalan, Semoga Berbahagia Dimanapun Berada

"Bahagia jika melihat orang lain bahagia"

Apakah seperti itu?
Bukankah sepertinya lebih banyak irinya daripada bahagia?
'Iri jika melihat orang lain bahagia', begitukah?

Bahkan ketika sudah pernah punya/mengalami sesuatu itu.
Ibaratnya sudah pernah punya benda x terlebih dulu, kemudian ada seseorang yang baru punya benda x, berapa persen perasaan ikut berbahagia untuk mereka?
Apakah malah lebih banyak semacam 'kok mereka bisa punya juga sih?'


Atau apakah turut bahagia itu hanya berlaku jika yang bahagia adalah orang-orang terdekat?
Bahagia jika ayah naik pangkat.
Bahagia jika adik ranking satu.
Bahagia saat suami naik gaji.
Bahagia jika anak pandai melakukan sesuatu.
Semacam itu misal.

Sementara ketika ayah orang lain naik pangkat, ketika adik orang lain ranking satu, ketika suami orang lain naik gaji, ketika anak orang lain pandai melakukan sesuatu, apakah turut berbahagia?
Bahkan ketika yang meraih sesuatu adalah orang-orang terdekat ring 2 (istilah macam apa ya ini?)
Mertua misal? Atau saudara ipar? Atau sepupu, om, tante? Atau sahabat dekat hampir soulmate?
Apakah bisa turut berbahagia?

Kenapa semuanya berupa pertanyaan?
Karena aku pun seringkali menanyakan, orang seperti apa aku ini? Apakah aku termasuk golongan orang-orang yang bisa 'bahagia jika melihat orang lain bahagia', atau lebih sering 'iri jika melihat orang lain bahagia'?

``````````````

Malah melantur kemana-mana.
Padahal hanya ingin bercerita bahwa terlepas dari aku lebih sering masuk golongan orang yang mana, hari ini aku bahagia melihat temanku berbahagia.

Hari ini kami melepas salah satu rekan kerja untuk pindah tugas. Hari ini hari terakhirnya, besok dia sudah bertugas di tempat baru.
Akhirnya dia bisa bekerja dekat dengan anaknya, sebagaimana yang ia inginkan dan ia perjuangkan setahun ini.
We never know inside someone's heart memaaang. Entah dia memang merasa bahagia dengan kepindahan ini atau tidak, tapi karena ini adalah sesuatu yang dia usahakan dan akhirnya dia dapatkan, aku mengasumsikan bahwa dengan ini dia bahagia.
And I feel sooooo happy for him.
(And sad in the same time. huhuhu... mewek)
Kehilangan satu partner kerja yang baik, sangat.


Sedihnya sedih mau pisah tapi sedih terharu juga sih.
Ku tak terlalu dekat dengannya memang. Tapi aku tahu garis besar ceritanya (atau mungkin sok tahu). Dan aku mendoakan yang terbaik untuknya.

(Di grup kantor jadi silent reader. Malah curhatnya disini)
Hihi...

Selasa, 16 Juli 2019

Hujan Selamat Datang

Setapak ini tak ku kenal
Aku datang sebagai orang asing
Bertanya-tanya akan seperti apa perjalananku disana

Jika kau adalah gerimis
Maka kau adalah rintik air pertama
Yang jatuh di tengah teriknya hari itu
Di perjalananku melewati gersangnya padang ilalang

Ku berlari, tak sempat berteduh
Kubiarkan rambut basah sembari mengeluh

Namun ternyata engkau tak menderas
Hanya turun titik setitik
Membawa mendung sejuk

Ku mulai menikmatinya
Tak lagi berlari, ku mulai memelan
Berharap kau menemani
Hingga sampai ujung nanti

Namun sayang
Ternyata aku datang di akhir musim
Itu adalah hadirmu yang terakhir

Hanya menemaniku setengah jalan
Setelahnya kau menghilang

Kau tak pernah lagi datang
Hingga aku menyelesaikan perjalanan ini
Dan aku pergi

Jika kau adalah hujan
Musim depan kau pasti akan datang
Namun kau bukan
Sekali kau menghilang
Semua sirna tinggal kenangan

Di tempat ini aku merindu
Aku bersedih
Aku memanggilmu lirih

Ku mengingatmu sebagai rintik air pertama
Yang menetes satu satu
Dan membuatku mendongak menatap langit
Untuk kemudian menyadari
Kau datang... hujan...

Dengan wajah yang basah
Ku tak pernah lagi berlari
Karena hujan adalah saat terbaik untuk mengingatmu
Baunya mendatangkan kenangan tentangmu
Dan tetesnya menutupi air mata di wajahku








*Iseng berpuisi. Terinspirasi dari maraton drama korea beberapa hari ini*

Kamis, 04 Juli 2019

Hari Terakhir Bersama Ibu

6 Januari 2017 pagi

Aku masih mengingat suasana pagi di Hari Jumat, dimana aku sangat bersemangat menyambut hari terakhir kerja jelang weekend. Sudah mandi wangi dan siap berganti baju kerja. Tiba-tiba Bapak menelepon dan mengabarkan bahwa ibu masuk rumah sakit.

Aku masih mengingat betapa panik dan buru-burunya aku meraih baju sekenanya, memesan taksi online ke Bandara Soetta padahal belum beli tiket pesawat sambil mengepak barang seadanya.

Aku masih mengingat bagaimana aku memohon pada bapak driver yang sudah jalan hampir satu kilometer menuju soetta untuk ganti tujuan ke Bandara Halim karena ternyata pesawat paling pagi ada disana.

Aku masih mengingat penantian di bandara yang terasa begitu lama sambil mulut tak henti berdoa agar ibu baik-baik saja tapi pikiran yang juga terus dihantui ketakutan jika ibu kenapa kenapa.

Aku masih ingat buru-burunya aku mengeluarkan uang taksi tak peduli harganya entah kemahalan atau tidak. Yang penting aku bisa segera meluncur dari Bandara Solo ke rumah sakit ibu di Madiun.

Aku masih ingat diriku yang memanggul tas punggung hitam kebingungan mencari ruangan ibu sampai kemudian bertemu tetangga-tetangga yang datang hendak menjenguk, kemudian kami bersama-sama menemukan ruangan ibu.

Aku masih ingat penampakan ibu yang sudah tak sadarkan diri dengan berbagai alat pemantau kondisi tubuh saat pertama kali aku melihatnya di ruang perawatan.

Aku masih ingat bagaimana aku menyeka badan ibu dan memakaikan pakaian rumah sakit.

Aku masih ingat bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibu, bagaimana sepupuku yang perawat menanyakan 'masihkah ada harapan?' dan kemudian mendapat jawaban: 'sulit'

Aku masih ingat bagaimana aku sendirian duduk di samping ibu seorang diri (pasien hanya boleh didampingi satu orang) sambil mengucapkan segala macam doa dan harapan.

Aku masih ingat bagaimana aku hampir tiap menit mengamati gerak naik turun dada ibu, memastikan bahwa masih ada nafas disana.

Aku masih ingat bagaimana tiba-tiba monitor di samping ibu berbunyi dan dengan paniknya aku memanggil dokter dan bertanya terbata 'ibu kenapa?'

Aku masih ingat bagaimana dokter melakukan tindakan penyelamatan, dan aku berteriak memanggil tante di luar ruangan.

6 Januari 2017 Ba'da Ashar

Aku masih ingat...

Aku masih ingat sampai akhirnya ibu dinyatakan meninggal di depan mataku, badan ibu ditutup kain, aku menangis sambil memeluk adikku yang baru kelas 3 SD, mengabarkan ke calon suami (yang 10 bulan lagi harusnya bisa ibu saksikan menikah denganku) kalau ibu meninggal.

Aku masih ingat bagaimana sesampai di rumah aku disambut dengan wajah-wajah sedih, tak percaya, dan turut berduka dari para tetangga yang sudah mulai menyiapkan pemakaman ibu.

Aku masih ingat bagaimana saat adikku yang berkuliah di luar kota datang dan memelukku dalam tangis.

Aku masih ingat bagaimana orang-orang melarangku meneteskan air mata saat melihat ibu dimandikan, padahal kala itu rasanya sudah bukan ingin menetes lagi tapi mengalir.

Aku masih ingat langkah terakhirku mengantarkan ibu ke pemakanan.

Aku masih ingat...

Aku masih ingat hari-hari setelahnya dimana aku jatuh sakit, hari-hari berikutnya dimana pikiran ini penuh dengan pertanyaan 'nanti gimana?' dan hari-hari yang harus kami lewati susah payah karena begitu besar perubahan yang terjadi di rumah sepeninggal ibu.

Aku masih ingat...

Aku masih ingat semuanya.
Namun aku tak ingin mengingatnya.
Tiap kali ingatan itu muncul sekelebat, akan kugelengkan kepalaku dan menyibukkan diri dengan hal lain.

Bukan aku tak ingat.
Aku hanya tak ingin mengingat.
Karena gambarannya masih terasa sangat jelas.
Sejelas sakit hati yang masih terasa sampai hari ini.
Sejelas air mata yang masih meleleh saat aku menuliskan hal ini.