Kenangan adalah usia kedua dari seorang manusia...

Kamis, 23 Mei 2013

Menikahi Almamater, Jurusan, dan Profesi


Ini adalah tulisan yang berangkat dari sebuah pernyataan di lini masa milikAndina Avika beberapa waktu yang lalu. Ada salah satu menikah jenis baru, yaitu menikahi almamater. Tidak hanya itu, lebih spesifik lagi adalah menikahi almamater-jurusan-dan profesi.

Semakin kesini, semakin aneh-aneh saja pemikiran para remaja yang terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran materialistis tentang keduniawian yang teramat sangat.
Lagi-lagi harus dibahas masalah seperti ini, ya tidak apalah, toh orang seumuran kita memang sedang pada masanya. Pabila pun ada anak SMA yang rajin menyimak tulisan dengan “genre” seperti ini. Anggap saja sedang belajar munakahat ya dek :)
Lagi-lagi aku dihadapkan pada sudut pandang baru, adalah sebuah gejala yang secara tidak disadari merasuk dalam jiwa-jiwa para akademisi yang mencari pendamping hidup dan mati.
Hei …
Kini, almamater tidak hanya berguna bagi para pencari kerja yang melamar kesana kemari. Tapi melamar atau dilamar pun beberapa orang menelisik almamater.
Ada seorang laki-laki jebolan kampus terbaik se Indonesia raya mendamba pendamping seorang dokter. Jika kamu bukan anak FK, maka sejak awal kamu tidak akan masuk kriterianya.
Ada seorang perempuan lulusan kampus termegah seindonesia raya. Kita ini laki-laki dari kampus pinggiran, urung, berpikir hendak mendekati saja tidak berani.
Sejak kapan kita menanamkan dalam diri kita sendiri dengan standar-standar keduniawian untuk menilai seseorang. Apakah kamu malu jika kamu berijazah kampus terbaik sementara perempuanmu sekedar dari kampus entah dimana dan jurusan yang sama sekali tidak menarik minat anak SMA untuk mendaftarnya.
Apakah ketinggian sekolahmu membuatmu memasang kriteria tinggi pula (dlm hal sekolah formal) untuk pendamping hidupmu? Apakah sebenarnya yang kamu cari? Keturunan super briliant dengan kecerdasaan diatas rata-rata? Teman diskusi super cerdas setiap malam tentang berbagai permasalahan pekerjaan, negara, dan politik?
Apakah kamu melupakan salah satu ilmu kebaikan yang selalu didengungkan semasa kita kanak-kanak.
Nak, jadilah seperti padi, semakin berisi, ia semakin menunduk.
Adakah ketinggian almamatermu membuatmu enggan melihat kebawah? Apakah kamu akan menggugurkan segala kebaikan seseorang hanya karena dia lulusan D3 (misal)? Astaga.
Aku yakin, sekian banyak dari kita mengalami hal seperti ini saat ini. Merasa minder dengan seseorang yang dirasai diatas kita, berasal dari kampus yang sangat baik sementara kita entah apa.
Aku yakin, sekian banyak dari kita pun mengalami, kesombongan diri yang melihat bahwa kita ini lebih baik dari yang lain. Merasa orang lain tidak selevel dengan kita hanya karena masalah, sekolah formal. Mendamba teman bicara dengan kapasitas yang sama, merasa bahwa dengan derajat sekolah formal yang sama akan lebih nyambung bicaranya. Bicara apa dulu ?
Adakah kita berpikir jernih, menanggalkan segala atribut kesarjanaan. Kita adalah sesama manusia, laki-laki dan perempuan. Ada fitrah yang diciptakan diantara kita.
Aku pernah berdiskusi tentang ini kepada kakak kelasku yang baik, dia seorang perempuan dengan sekolah yang sangat cemerlang.
Laki-laki tidak perlu merasa rendah diri hanya karena derajat sekolah formal. Perempuan tetaplah perempuan.
Pun perempuan, tak perlu merasa dirinya terlalu tinggi hingga memasang standar yang sangat tinggi pula, kamu lulusan S2, maka pelamarmu haruslah S3, minimal S2 lah. Ada banyak kebijaksanaan laki-laki yang tidak terlihat dari sekedar titel sarjana.
Kita semua merasai, sadar atau tidak sadar.
Seorang perempuan di ujung sana mendamba laki-laki yang dikenalnya. Yang berada di kampus terbaik di negerinya. Sedang ia merasa sebagai butiran debu, merasa tidak masuk perhitungan sama sekali.

Ada seorang laki-laki diujung sana, mendamba seorang dokter jelita. Hendak maju merasa hina, hendak mundur perasaan tiada lupa. Apa yang harus diperbuat.
Percayalah, urusan seperti ini itu selalu akan rumit jika dipikirkan. Yang perlu kita lakukan adalah, percaya. Karena selama ini kita seringkali mengabaikan adanya campur tangan Tuhan. Merasa segala hal akan tercapai dengan usaha kita sendiri.
Ah tulisan ini rumit, aku tidak bisa menyelesaikannya dengan baik. Paling tidak, kalian memahami sesuatu dan merasai sesuatu. Bukankah kita selama ini seringkali seperti itu?
Bandung, 19 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar ya....