Sahabat pertamaku adalah tetangga samping rumah. Anak perempuan yang lahir setahun lebih dulu dari aku, tapi aku memanggilnya "Dek". Kata Ibu, aku harus memanggil "Dek" karena berdasarkan kedudukan dalam silsilah keluarga #hallah#, ibu si dia hitungannya lebih muda dari ibuku. Aku memanggil beliau "Bulik".
Sama-sama anak pertama, dengan nama yang hampir sama, dan satu-satunya yang seumuran di lingkungan rumah itu. Udah macam soulmate lah kami.
Yang bisa ku ingat dari waktu-waktuku bersamanya salah satunya adalah ketika aku seriiiing sekali datang ke rumahnya saat ayah dan ibunya sedang bekerja. Kemudian kami berdua mainan lalala lilili segala hal di rumahnya. Saat itu rumahnya terasa lebih nyaman dari rumahku. Lantainya sudah menggunakan tegel, sedangkan rumahku masih semen. Dia punya kulkas, sementara di rumahku tak ada. Keluarga mereka memang lebih berada.
Aku paling suka jika kami main masak-masakan. Tapi yang ini mainnya bukan pakai tanah ataupun daun-daunan. Pakai makanan sungguhan. Kami menggunakan selembar roti tawar (yang saat itu tidak pernah ada di rumahku, dan dia punya, dan aku suka :D ).
Kami membaginya jadi 4. Kemudian kami mengoleskan mentega, kadang menaburkan gula. Kemudian menambahkan secuil strowberry di atasnya (yang lagi-lagi tidak pernah ada di rumahku, dan dia punya, dan aku suka :D ). Kemudian kami akan berlagak seperti sedang menyantap dessert di sebuah restoran mewah. Hihihi... Senang sekali rasanya kalau main ke rumahnya dan makan itu :p
Momen kedua yang ku ingat adalah ketika kami sering tidur siang di rumahku. Akur banget. Dia baru pulang kalau sudah dicari sama ibunya. Tapi suatu hari, pas lagi gegulingan di kamar (hendak tidur siang kali ya) dia membuatku menangis (entah kenapa). Akupun berlari hendak memukulnya dengan sapu lidi sambil menangis dan mengusir dia. Dia pun terbirit-birit pulang ke rumah (mungkin sambil menangis juga). Tapi ya besoknya balik main lagi :D
Momen ketiga yang ku ingat adalah ketika keluarganya mulai membangun rumah baru. Pasalnya, di antara rumah lama dia dengan rumahku masih ada tanah milik keluarganya. Di situlah rumah itu dibangun. Tiap hari kami bermain-main di depan lalu lalang tukang yang mendirikan bangunan. Inget banget waktu itu soundtrack-nya adalah lagunya Stinky - Mungkinkah. Entah siapa waktu itu yang suka sekali memutarnya. Yang pasti kalau sekarang aku mendengar lagu itu, pasti langsung terasa seperti diseret ke masa-masa itu.
Hanya momen-momen itu yang ku ingat. Akupun lupa itu kelas berapa. Masih kecil sekali pastinya. Karena aku ingat, ketika SD pertemanan kami mulai berubah. Aku sekolah di SD kampung sementara dia di SD Kota. Pertemanan mulai renggang. Aku sudah punya geng sendiri. Dia pun mungkin begitu.
SMP apalagi. Kami satu SMP, tapi hubungan sudah terlanjur renggang. Apalagi dia sudah ku pandang layaknya senior. Dia kan pengurus pramuka dan OSIS. Aku mah apa atuh.
SMA, apalagi...
Satu sekolah sih.Tapi, udah jauuuuuuuuuuuuuuuuh banget.
Dan dari hari ke hari akupun mulai merasa berbeda jika menelisik pembicaraan di rumah. Dulu kan satu sama lain sudah dianggap layaknya anak sendiri oleh orang tua masing-masing. Kalau ibu pas menyuapi aku, pasti dia juga ikut disuapi, tidur bareng, dll. Tapi, makin lama ortuku mulai memunculkan aroma persaingan. Bukan membanding-bandingkan yang lebay gitu. Tapi bisa tercium lah, kalau mereka pas cerita si dia rankingnya begini, si dia diterima di universitas ini, si dia sekarang udah kerja disini (dia kerja di perusahaan swasta yang tergolong masyhur - setidaknya di kampungku), si dia lagi bangun rumah, si dia rumahnya udah jadi, dll.
Hanya sekilas tentang sahabat.
Merindukan punya sahabat samping rumah :)
Image Source: disini
Ah, Ika.. kok kesannya lagi melo gitu ya..
BalasHapusEmang begitulah kehidupan, Ka.. *soktua