Kenangan adalah usia kedua dari seorang manusia...

Rabu, 15 Desember 2010

KEBERANIAN SEORANG PENGECUT

Hidup ini tak selamanya indah kan?
Keluarga yang selama ini selalu dipenuhi canda dan tawa, mungkin sekarang sedang diuji oleh Yang Maha Kuasa.
Adikku memang sakit.
Tapi, sesungguhnya dibalik semua itu ada hal lain yang jauh lebih berat ketika keimanan seseorang sedang diuji.

Bertahun-tahun aku merasakan tekanan batin dan gejolak yang begitu besar dalam hatiku. Hingga akhirnya kuliah ku jadikan tameng untuk menutupi semua kebohonganku selama ini. Tak ada yang tau bahwa betapa senangnya aku bisa jauh dari rumah dan terbebas dari segala kekangan yang telah bertahun-tahun membuatku terisak lirih di balik pintu kamarku.

Sebuah masalah yang sudah berulang kali mencoba ku konsultasikan pada berbagai macam orang hingga tak peduli aku harus menangis di taman sekolah, di depan masjid, di telfon, atau dimanapun.
Kupikir aku bisa lari dari semua itu ketika suatu hari aku jauh dari rumah. Terbebas. Sebuah pikiran bodoh. Karena aku melupakan bagaimana orang yang masih tetap berada di sana dalam belenggu yang sama seperti aku beberapa tahun yang lalu.

Tak pernah kukira semuanya akan menjadi separah ini. Ketakutanku akhirnya menjadi kenyataan. Dan bahkan jauh melebihi apa yang ku perkirakan. Bukan aku yang menangis, tapi orang yang sangat amat ku sayangi.

Ibu....sedang apa kau disana? menangiskah engkau?

"Ngono kui umpomo awakmu dadi ibuk terus piye sikapmu? (Seperti itu seandainya kamu jadi ibu lalu bagaimana sikapmu)"

Ya Allah, apakah aku telah cukup dewasa untuk memberi sebuah argumen? atau setidaknya mungkin aku ingin mengungkapkan apa yang selama ini mencoba kupendam. Keberanianku tidak sebesar itu. Aku hanyalah pengecut yang tak sedikitpun berani bicara bahkan hingga semua keruwetan ini akhirnya berdampak begitu besar dalam hidupku bahkan membuat orang yang teramat sangat ku sayangi akhirnya menangis. Dan aku? Aku hanya diam. Tak pernah ku hayati apa itu makna perjuangan. Aku hanya diam. Air mata menjadi tamengku untuk menahan semua keluh kesahku. Sebuah pilihan bodoh yang kuambil.

"Piye, nek ra manut saben dino ibuk diseneni wae, nek dinut ibuk merasa berdosa. (Gimana, kalau ngga nurut tiap hari ibu dimarahin, kalau diturutin ibu merasa berdosa)"

Haruskah setiap hari ku biarkan berlalu hingga suatu saat nanti aku akan sampai pada suatu titik dimana hanya penyesalan yang bisa kugapai dan hanya rasa bersalah yang akan kudapat?
"Dongakno ibuk supoyo diparingi sabar, kuat iman, lan panjang umur. Lan ojo dadi susahe pikirmu. (Doakan ibu agar diberi sabar, kuat iman, dan panjang umur. Dan jangan menjadikan susahnya pikiranmu)"

Sekian liter air mata yang kau tumpahkan takkan bisa mengubah apapun tanpa adanya suatu tindakan. Diam berarti MATI.

itu kan yang ku ucapkan?
Apakah semua itu akan ku wujudkan dalam sebuah usaha nyata?
Ataukah akan berakhir menjadi sebuah kata penyemangat yang berlalu tenggelam bersama bergantinya hari dan berlalunya waktu?
Hingga kapan aku harus menunggu keberanian itu datang? 
Beranikah aku menghadapi semua resiko yang harus ku tanggung jika pita suaraku ini akhirnya tak lagi tercekat di hadapannya?
Beranikah aku mengorbankan diriku dan bahkan mungkin seluruh hidupku?
Haruskah sekali lagi aku harus menjadi seorang pecundang yang hanya terus menerus mengucapkan sebuah mantra bodoh yang entah dari mana kudapat berupa kalimat "biar waktu yang menjawab"?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar ya....